Jumat, 09 April 2010

Nusyuz, Syiqaq, Ila' dan Fungsi Hakim dalam PenyelesaiannyaN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebahagiaan dalam keluarga merupakan keinginan yang diharapkan semua manusia, dan semua itu akan terasa disaat sebuah keluarga menjalankan apa yang menjadi kewajiban dan hak masing – masing baik suami ataupun istri dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, segala tingkah laku, gerak langkah, selalu berorientasi kearah itu walaupun dalam aplikasi memakai cara yang berlawanan dengan tujuan tadi.
Namun pada kenyataannya tidak sedikit dalam sebuah keluarga tidak selalu tenang dan menyenangkan.ada kalanya kehidupannya begitu ruwet dan memusingkan. Hal tersebut terjadi karena peran dan fungsi mereka khususnya bagi suami ataupun istri sudah tidak melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab mereka masing – masing.
Terlepas dari kewajiban dan hak seorang istri terhadap suami atau sebaliknya, penyusun pada kesempatan kali ini tidak akan membahas mengenai kewajiban dan hak tersebut akan tetapi akan membahas mengenai nusyuz, syiqaq dan ila. Ketiga masalah diatas akan terjadi disaat suami atau istri tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dan hak mereka masing - masing dalam sebuah keluarga.
B. Rumusan Masalah
Setelah memperhatikan pemaparan diatas penyusun dapat merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya :
1. Apa pengertian nusyuz dan bagaimana mengatasi nusyuz tidak terjadi ?
2. Apa pengertian syiqoq dan apa penyebab timbulnya syiqoq?
3. Apa pengertian ila’ dan bagaimana cara kembali dari sumpah ila’?


BAB II
PEMBAHASAN
A. NUSYUZ
1. Pengertian Nusyuz
Menurut Hamid ( 1977 : 250 ) nusyuz adalah tindakan istri yang dapat ditafsirkan menentang atau membandel atas kehendak suami. Tentu saja kehendak suami yang tidak bertentangan dengan hukum agama. Apabila kehendak suami bertentangan atau tidak dapat dibenarkan oleh agama, maka istri berhak menolaknya. Dan penolakan tersebut bukanlah sifat nusyuz ( durhaka ).
Sementara menurut Rasyid ( 1994: 398 ) nusyuz adalah apabila istri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang dapat diterima menurut hukum syara’, tindakan itu dipandang durhaka.
Dari kedua pendapat di atas penulis mendefinisikan, Nusyuz adalah keadaan dimana suami atau istri meninggalkan kewajiban bersuami-istri sehingga menimbulkan ketegangan hubungan rumah tangga. Seperti hal-hal dibawah ini :
a. Suami telah menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan suami, tetapi istri tidak mau pindah kerumah itu, atau istri meninggalkan rumah tangga tanpa izin suami.
b. Apabila suami istri tinggal dirumah kepunyaan istri dengan izin istri, kemudian pada suatu waktu istri mengusir (melarang) suami masuk rumah itu, dan bukan karena minta pindah kerumah yang disediakan oleh suami.
c. Umpamanya istri menetap ditempat yang disediakan oleh perusahaanya, sedangkan suami minta supaya istri menetap dirumah yang disediakannya, tetapi istri berkeberatan dengan tidak ada alasan yang pantas.
d. Apabila istri bepergian dengan tidak beserta suami atau mahramnya, walaupun perjalanan itu wajib, seperti pergi haji, karena perjalanan perempuan yang tidak beserta suami atau mahram terhitung maksiat.
Sedangkan, nusyuz suami terhadap istri mengandung arti pendurharkaan suami keapad Allah karena meninggalkan kewajiban terhadapan istrinya. Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqoh atau meninggalkan kewajiban bersifat nonmateri di antaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf atau menggauli istrinya dengan baik. Yang terakhir ini dapat mengandung arti luas, yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asa pergaulan baik.
Adapun tindakan istri bila menemukan pada suaminya sifat nusyuz, dijelaskan Allah dalam suran An-Nisa ayat 128 :
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
2. Dasar Hukum
Dasar hukum nusyuz yang datangnya dari istri, ditegaskan dalam Firman Allah Surat An-Nisa ayat 34 :
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.
Dalam memukul, jangan sampai melukai badannya, jauhilah muka dan tempat-tempat lain yang mekhawatirkan, karena tujuan memukul bukanlah untuk menyakiti tetapi untuk memberi pelajaran berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada tingkatan :
1) Ketika Nampak tanda-tanda kedurhakaan suami berhak memberi nasihat kepad istri
2) Sesudah nyata kedurhakaannya, suami berhak untuk berpisah ranjang ketika tidur dengan istri
3) Kalau istri masih durhaka suami berhak memukulinya.
Akibat kedurhakaan itu maka hilanglah hak istri yaitu menerima uang belanja, pakaian dan pembagian waktu.berarti dengan adanya durhaka istri., maka ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami dan istri tidak berhak menuntut.
Firman allah Swt dalam Q.s Al-Baqarah : 228
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya :
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban (terhadap suaminya) menurut cara yang ma’ruf.”
3. Cara Mengatasi Nusyuz
Menurut Hakim dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam (2000 : 108) cara untuk mengatasi nusyuz adalah dengan mengadakan perundingan antara suami istri untuk membereskan serta menghilangkan kesalahpahaman dan memecahkan masalah tersebut bersama. Usaha ini menurut Islam disebut dengan istilah ishlah, yaitu upaya perdamaian yang diusahakan oleh kedua belah pihak. Upaya ishlah ini divisualkan dalam bentuk musyawarah. Dengan musyawarah serta keinginan yang baik, maka tidak ada masalah yang sulit yang tidak dapat dipecahkan.
Al-quran memperingatkan wanita untuk berbuat sesuatu manakala terjadi ketidakberesan, ketidakserasian, atau miskomunikasi antara istri dan suaminya. Jadi, wanita dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi kemelut dalam keluarga, mengajak suaminya untuk merundingkan problema yang menjadi ganjalan diantara mereka, dalam upaya memperbaiki hubungan mereka, seperti dijelaskan dalam al-quran surat An-nisa : 128
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرُُ
Artinya :
“Apabila wanita ( istri-istri ) terjadi pembangkangan ( nusyuz ) dan pertentangan ( sikap acuh tak acuh ) dengan suaminya. Maka tidaklah mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian, dan perdamaian adalah sesuatu yang baik”.
Apabila salah satu pihak benci terhadap yang lain, hendaklah jangan mengharapkan atau melihat kesalahan sedikit pun diantara mereka. Padahal bisa saja satu atau dua hari saja sudah hilang kesalahannya bahkan mungkin hanya beberapa saat saja. Selanjutnya, yang timbul justru suatu sebaliknya, yaitu kerinduan. Oleh karena itu, masalah didalam rumah tangga janganlah terlalu dianggap serius, anggap saja sebagai bumbu perkawinan. Dalam hal ini Al-quran Q.s An-nisa 19, memberi peringatan yaitu.
فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya :
“Apabila kamu tidak senang kepada istri, maka boleh jadi apa yang kamu tidak senang tadi justru Allah SWT membuat kebaikan yang banyak”.
Perkawinan sebagai sesuatu yang suci hendaklah dipertahankan keutuhan serta keharmonisan. Ini merupakan tugas mereka yang terlibat didalamnya. Terciptanya kebahagiaan dan ketenteraman rumahtangga sangat bergantung pada apakah suami istri telah melaksanakan peran dan kewajibannya masing-masing. Disamping itu apakah mereka telah berusaha menyelami tabiat, kebiasaan, temperamen, watak, dari pasangan hidupnya. Apabila semua itu telah mereka lakukan, dapat dipastikan bahwa kehidupan perkawinan berjalan sesuai dengan yang diinginkan.
Apabila kemelut keluarga diakibatkan oleh suami, maka istri harus mempunyai strategi yang handal dalam meluluhkan nusyuz suami. Menurut Ghanim ( 1993 : 63 ) cara untuk mengatasi nusyuz suami yaitu dengan cara membaikinya. Misalnya, dilakukan dengan mengurangi tuntutan - tuntutan material atau hal - hal lain yang menjadi hak dari suaminya. Sebab, kebanyakan yang menjadi penyebab kejengkelan dan kesulitan seorang suami adalah tingginya tuntutan istri terhadap hal - hal yang tidak mungkin diupayakan ( diluar jangkauan ) oleh sang suami.
Dalam menghadapi hal semacam ini, diharapkan istri dapat mengurangi atau menyederhanakan tuntutan - tuntutan tersebut demi menjaga keutuhan keluarga dan keselamatan anak - anak ( jika memang ada ). Hal ini adalah salah satu bentuk pengorbanan sang istri untuk menjaga keutuhan keluarganya. Jika dia telah berusaha kearah sana, maka tidak ada dosa baginya. Akan tetapi jika dia memilih pisah dari suami tanpa ada upaya untuk berkorban, berarti dia telah melakukan suatu kesalahan. Padahal damai ( istilah ) adalah jalan yang paling baik. Demikian juga, sang suami pun dituntut untuk bisa menjembatani jurang kesenjangan antara keduanya.
Disisi lain, Al-quran juga menyinggung bahwa manusia itu mempunyai tabiat kikir, baik kikir harta maupun kikir perangai. Dan sebagai jalan keluarnya Al-quran menawarkan pendekatan keimanan kepada para suami agar mereka mampu mengalahkan tabiat kikir dalam hal beri - memberi terhadap sang istri. Firman Allah SWT dalam Q.S An-nisa : 128.
وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya :
“Dan jika kamu menggauli istrimu dengan baik dan memerihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya allah SWT maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Jika usaha-usaha tersebut tidak mampu untuk bisa mengokohkan hubungan keduanya, maka jalan ( talaq ) adalah jalan baik. Islam tidak ingin membelenggu perkawinan dengan rantai dan tali - tali yang menyulitkan. Akan tetapi Islam juga mengikatnya dengan cinta kasih dan pertolongan. Firman allah SWT dalam Q.S An-nisa. : 130,
وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللهُ كُلاًّ مِّن سَعَتِهِ وَكَانَ اللهُ وَاسِعًا حَكِيمًا
Artinya :
“jika keduanya bercerai, maka allah SWT akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunianya. Dan adalah maha luas ( karunianya ) lagi maha bijaksana.
B. SYIQAQ
1. Pengertian Syiqaq
Menurut U. Dedih dalam bukunya fiqih munakaht dan mawaris. Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan antara suami istri yang diselasaikan dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Menurut Jumhur ulama mengatakan bahwa kedua orang hakam itu tidak dipersyaratkan dari keluarga kedua belah pihak, namun sebaiknya dari keduanya dari pihak keluarga, karena dianggap lebih saying dan lebih mengetahui persoalan disbanding dengan yang lainnya.
Menurut Rahman dalam bukunya perkawinan dalam syariat Islam (1996:85). Syiqaq adalah putusnya ikatan perkawinan. Hal tersebut mungkin timbul disebabkan oleh perilaku dari salah satu pihak. Bila salah satu pihak dari pasangan suami istri itu bersifat butuk, atau salah satunya bersikap kejam kepada yang lainnya, atau seperti yang kadang kala terjadi, mereka tak dapat hidup rukun dalam satu keluarga. Maka dalam kasus ini syiqaq lebih mungkin terjadi, namun ia tetap akan tergantung pada kedua belah piha, apakah mereka akan memutuskannya ataukah tidak. Perceraian akan selalu terjadi bila salah satu pihak merasa mustahil untuk mempertahankan ikatan perkawinan itu dan terpaksa memutuskannya.
2. Dasar Hukum
Firman Allah SWT surah An-Nisa ayat 35 :
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Berdasarkan ayat di atas, maka apabila terjadi perselisihan tidak semestinya langsung mengajukan perceraian, tetapi harus ditempuh berbagai cara yang dapat mendamaikan dengan mendatangkan hakim dari pihak keluarga. Jika hakim keluarga tidak dapat menyelesaikan perkaranya baru kemudian diajukan ke hakim peradilan.
3. Sebab-Sebab Timbulnya Syiqaq
Adapula kemungkinan timbulnya kasus dimana suami dipenjarakan seumur hidup dalam jangka waktu yang lama, atau dia hilang dan tidak diperoleh kabar apapun tentangnya, atau dia dipasung sepanjang hayatnya, sehingga tak mampu memberi napkah pada istrinya, maka dalam keadaan demikian dapat terjadi syiqaq kalau istri menginginkan perceraian, tetapi kalau tidak maka ikatan perkawinan itu tetap berlangsung. Sebaliknya, kalau dengan cara yang serupa itu, suami merasa tersinggung dan sakit hati, maka dia berhak untuk mengawini istri yang lain.
Bila salah seorang dari pasangan itu murtad, keluar dari Islam maka secara hukum perkawinan itu dapat dipisahkan dengan perceraian. Tetapi berdasarkan pendapat para ulama lain, perkawinan itu secara otomatis ada perceraian. Sedangkan jika suatu pasangan bukan muslim, lalu memeluk Islam maka perkawinanan mereka dapat diteruskan. Namun hanya seorang dari mereka yang menerima Islam, maka perkawinannya dapat dipisahkan walau tanpa perceraian.
Bila istri yang memeluk Islam lalu perkawinannya batal dan dia mulai melakukan masa iddah, kemudian andaikan bekas suaminya itu ikut memeluk Islam selama masa iddahnya itu, maka suaminya lah yang berhak menikahinya. Jika suaminya memeluk Islam, sedangkan istrinya seorang yahudi atau nasrani, maka suaminya boleh mengizinkan istrinya untuk tetap menganut agamanya. Tetapi bila suami menerima Islam sedangkan istrinya seorang tukang sihir, lalu dia juga segara memeluk Islam mengikuti suaminya, maka mereka dapat terus berdampingan sebagai suami istri, namun wanitanya tidak menerima Islam, maka segera saja pernikahan mereka bubar.
C. ILA’.
1. Pengertian Ila’.
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri.
Menurut Rijal ( 1997 : 250 ) ila’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan atau tanpa ditentukan.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan Islam ( 2000 : 180 ) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih Islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227
Artinya :
“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya) kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hari untuk) talak, maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.”
Pada hakikatnya ila’ merupakan suatu bentuk perceraian sebagai akibat dari sumpah suami yang mengatkan bahwa ia (suami) tidak akan menggauli istrinya (telah terjadi ila’), maka suami diberi kesempatan du hal dalam jangka waktu empat bulan. Dua hal yang pikirkan tadi adalah:
a. Rujuk dengan istri
Apabila memelih rujuk, maka suami wajib membayar kifarat sebagai denda sumpah sesuai dengan ketentuan syariat islam, yaitu:
• Memberi makan 10 fakir miskin sesuai dengan porsi makan mereka
• Memberi pakaian 10 fakir miskin
• Memerdekan seorang hamba sahaya (budak)
• Puasa selama tiga hari berturut-turut

b. Mentalak istri
Kalau suami setelah 4 bulan tidak dapat menetukan di antara dua kemungkinan tersebut, dalam hal ini ulama berbeda pendapat, yaitu menurut Imam Hambali sebagai berikut:
• Berarti istri telah tertalaq, talaqnya dihitung satu
• Dapat rujuk kembali dengan membayar kifarat.
Sedangkan, menurut Imam Syafi’I, sebagai berikut:
• Istri belum tertalaq
• Istri tertalaq, kalau memlalui proses penjatuhan talaq seperti biasanya melalui hakim. Talaqnya dihitung talaq satu
• Dapat rujuk dan nikah lagi dengan membayar kifarat serta memenuhi syarat-syarat rujuk dan nikah seperti biasanya.
2. Hukum Ila’ dan Dasar Hukum
Menurut Amir Syariffudin dalam buku hokum Perkawinan Islam di Indonesia, mengemukakan dalam pandangan Islam Ila’ merupakan perbuatan yang terlarang karena menyalahi hakikat dari perkawinan untuk mendapatkan ketenangan hidup, kasih saying, dan rahmat. Tingkat dosa bagi yang mengila’kan istrinya merupakan dosa besar menurut ulama Syafi’iyah, sedangkan menurut ulama lain diantaranya al-Khatib berpendapat dosa orang yang mengila istri itu adalah dosa kecil.
Ila’ itu semacam sumpah dengan menggunakan nama Allah. Seandainya dia melakukan apa yang disumpahkannya itu dia menanggung resiko yang berat dalam bentuk tuntutan Allah membayar kifarat. Hal ini dinyatakan dalam surat Al-Maidah ayat 89 :
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
Dalam hadits Nabi ditemukan kisah yang Nabi sendiri pernah meng-ila’ istrinya, sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah menurut riwayat at-Tirmidzi yang dikeluarkan oleh al-Shan’any dalam subul as-Salam, bahkan menurut hadits ini menunjukkan bolehnya sumpah tidak menggauli istri. Bunyi hadits tersebut adalah :
آلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من نسائه وحرم وجعل الحرام حلالا وجعل لليمين كفارة
Nabi saw pernah mengila’ satu di antara istrinya dan mengharamkannya (untuk digauli) dan dijadikan yang haram menjadi halal dan menjadikan untuk sumpah itu kaffarat.
Namun bila dihubungkan dengan dalil-dalil yang disebutkan di atas, maka hadits tersebut bila memang kuat untuk dijadikan dalil, maka demikian adalah merupakan kekhususan bagi Nabi dan tidak berlaku untuk umatnya.
3. Cara Kembali dari Sumpah Ila’
Mengenai cara kembali dari sumpah ila’ yang tersebut dalam ayat di atas ada tiga pendapat :
• Kembali dengan mencampuri istrinya itu, berarti mencabut sumpah dengan melanggar ( berbuat ) sesuatu yang menurut sumpahnya tidak akan diperbuatnya. Apabila habis masa empat bulan ia tidak mencampuri istrinya itu, maka dengan sendirinya kepada istrinya itu jatuh talaq bain.
• Kembali dengan campur jika tidak ada halangan. Tetapi jika ada halangan boleh dengan lisan atau dengan niat saja.
• Cukup kembali dengan lisan, baik ketika berhalangan atau tidak.
Ila’ ini pada jaman jahiliyah berlaku menjadi talak, kemudian diharamkan oleh agama Islam.
Dijaman jahiliyah laki-laki sudah terbiasa bersumpah untuk tidak menyentuh istrinya setahun atau bahkan dua tahun. Dan kebanyakan dengan tujuan menyiksa Istri mereka dibiarkan begitu saja tidak diurusi. Jadi bersuami tidak, diceraikan juga tidak. Maka dengan rahmat-Nya, Allah SWT hendak membatasi perbuatan ini yang tidak peri kemanusiaan, lalu diberikan tempo selama empat bulan. Biarlah selama empat bulan itu laki-laki melampiaskan kejengkelannya sepuas-puasnya, barang kali dia kemudian malah menjadi sadar kembali. Kalau ditengah itu atau diakhir masa penangguhan itu dia sadar, maka boleh dia melanggar sumpahnya dengan menggauli istrinya, lalu bayarlah kiparat buat penembus sumpahnya. Kalau tidak, maka ia wajib menceraikan istrinya.
Apabila seorang suami telah bersumpah takkan mendekati istrinya. Akan tetapi selagi belum habis masa empat bulan, dia telah menyetubuhinya, maka dengan sendirinya ila’ pun selesailah urusanya. Laki-laki itu tinggal membayar kiparat sumpah.
Beberapa pendapat jikalau masa empat bulan itu telah lewat, dan laki-laki itu tetap tidak menggauli istrinya, maka menurut
• Jumhur ulama, istrinya menuntut untuk bersetubuh atau diceraikan. Akan tetapi suaminya menolak maka jumhur ulama berpendapat bahwa hakim diperkenankan menceraikan laki-laki itu dari istrinya, demi menjaga wanita itu dari bahaya.
• Ulama ahmad, asy-syafi’I dan para ulama ahlu zhahir, hakim itu tetap belum boleh menceraikan mereka, tapi suami itu boleh didesak dan ditahan sampai dia menceraikan sendiri istrinya.
• Ulama hanafi, apabila masa empat bulan itu lewat, sedangkan suami belum juga mengumpuli istrinya, maka dengan sendirinya istri itu telah dicerai secara bain, begitu masa penangguhan habis. Dan suami itu tidak berhak lagi rujuk kepadanya, karena dia telah menyia-nyiakan haknya sendiri kenapa tidak mau menggauli istrinya tanpa udzur yang berarti dia tidak menghargai haknya sendiri sebagai suami, disamping dzalim terhadap istrinya.
4. Sebab-Sebab Terjadinya Ila’
Adapula kemungkinan terjadinya ila’ disebabkan sebagai berikut:
• Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabukj, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
• Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
• Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
• Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak lain
• Salah satu pihat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
• Antar suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
D. Fungsi Hakim dalam Penyelesaiannya
1. Fungsi Hakim dalam Menyikapi Nusyuz
a. Apabila terjadi nusyuz dari pihak istri
Adapun petunjuk mengenai langkah-langkah menghadapi istri melakukan nusyuz, tercantum dalam firman Allah SWT surat an-Nisa ayat 34 :
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.
Petunjuk tersebut apabila dirinci, dapat dikemukakan sebagai berikut:
• Istri diberi nasihat tentang berbagai kemungkinan negative dan positifnya dari tindakkannya itu.
• Apabila langkah pertama berupa nasihat tidak berhasil, langkah kedua adalah memindahkan tempat tidur istri dari tempat tidur suami, meski masih dalam satu rumah.
• Apabila langkah kedua belum mengalami perubahan pad istri, maka langkah ketiga adalah memberi pelajaran atau dalam bahasa al-Quran memukulnya. Dalam artian untuk mendidik.
b. Apabila terjadi nusyuz dari pihak suami
Apabila terjadi nusyuz dari pihak suami tercantum dalam firman Allah surah an-Nisa ayat 128 :
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Jalan yang ditempuh apabila suami nusyuz seperti acuh tak acuh, tidak mau menggauli dan tidak memenuhi haknya, maka upaya perdamaian bisa dilakukan dengan cara istri merelakan haknya dikurangi untuk sementara kembali kepada istrinya dengan baik.
2. Fungsi Hakim dalam Mengatasi Syiqaq
Firman Allah SWT surah An-Nisa ayat 35 :
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Yang dimaksud dengan hakam dalam ayat tersebut adalah seorang yang bijak yang dapat menjadi pencegah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut.
Secara kronologis Ibnu Qudamah menjelaskan langkah-langkah dalam menghadapi konflik tersebut, sebagai berikut:
• Hakim mempelajari dan meneliti sebab terjadinya konflik tersebut. Bila ditemui penyebabnya adalah karena nusyuznya istri atau suami atau keduanya, maka datangkanlah orang yang disegani dan yang berwibawa untuk menasehatinya.
• Bila langkah-langkah tersebut tidak mendatangkan hasil, maka hakim menunjuk seorang dari pihak suami dan seorang dari pihak istri dengan tugas menyelesaikan konflik tersebut.
3. Fungsi Hakim dalam Permasalahan I’la
Apabila suami menolak dua pilihan setelah habis mas tenggang yaitu kembali kepada istrinya atau menceraikannya. Maka menurut Imam Malik, atas pengaduan istri, hakim akan menceraikan mereka untuk menghindari kesewenangan suami yang lelah membuat istri tersiksa berkepanjangan.
Menurut imam Syafi’I talaq yang jatuh karena ila’ merupakan talaq ruju setelah tidak ada dalilnya. Di samping itu talaq yang terjadi setelah istri di dukhul dan tidak ada pengembalian sejumlah harta oleh pihak istri.
Sedang menurut imam Abu Hanifa, talaq tersebut termasuk ba’in kalau talaqnya dianggap ruju’, suami mempunyai karena ruju’ adalah hak suami. Dan hal ini menyebabkan kemaslahatan istri tidak terjamin, tidak menghilangkan kemadharatan yang diderita pihak istri. Hal ini memungkinkan suami melakukan hal ini berulang-ulang karena adanya ruju’

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis dapat mengambil menyimpulkan bahwa sebagai berikut:
1. Nusyuz adalah tindakan istri yang dapat ditapsirkan menentang atau membandel atas kehendak suami. Tentu saja kehendak suami yang tidak bertentangan dengan hukum agama. Apabila kehendak suami bertentangan atau tidak dapat dibenarkan oleh agama, maka istri berhak menolak. Dan penolakan tersebut bukanlah syat nusyuz ( durhaka ).
Tindakan yang harus dilakukan suami terhadap istri yang durhaka yaitu :
• Suami berhak memberi nasihat kepada istrinya bila tanda-tanda kedurhakaan istri itu timbul.
• Sudah nyata durhakanya, suami berhak berpisah tidur dari istrinya.
• Sesudah dua pelajaran tersebut ( nasihat dan berpisah tidur ) kalau istri masih terus juga durhaka, suami berhak memukulnya.
2. Syiqaq adalah putusnya ikatan perkawinan. Hal tersebut mungkin timbul disebabkan oleh prilaku dari salah satu pihak.
Sebab-sebab timbulnya syiqaq yaitu diantaranya:
• Karena suami dipenjarakan seumur hidup sehingga tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya.
• Apabila suami menghilang dan tidak ada kabar tentang dirinya.
• Apabila salah seorang dari pasangan itu murtad.
3. Ila’ adalah sumpah seorang suami pada istrinya untuk tidak menggauli selama empat bulan atau tanpa ditentukan.
Cara kembali dari sumpah ila’ diantaranya:
• Kembali dengan mencampuri istrinya jika tidak ada halangan, tetapi jika ada halangan boleh dengan lisan atau niat saja.

DAFTAR PUSTAKA
Effendi M Zein, Satria. 2005. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Dedih, Ujang. 2002. Fiqih Munakahat dan Mawaris. Bandung: Tsabita.
Ghanim, syekh adil rasyad. 1993. Bersikap Islami. Jakarta : gema insani press.
Hakim, rahmat. 2000. Hukum perkawinan Islami. Bandung : postaka setia.
Hamid, syamsul Rijal. 1997. Buku pintar agama Islam. Jakarta : Cahaya salam.
Rahman Ghozali, Abdul. 1996. Perkawinan dalam syariat Islam. Jakarta : Rineka cipta.
________________. 2008. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Rasyid, Sulaiman. 1996. Fiqih Islam. Jakarta : Sinar baru argensindo.
Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Umar, Anshori, 1986, Fiqih wanita. Semarang : CV. Asy-syifa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar